Senin, 17 Desember 2018

NKRI HARUS TERBUKA UMUMKAN DOKUMEN RESOLUSI PBB NO 2504 TENTANG PEPERA KEPADA RAKYAT PAPUA BARAT



Ilustrasi Peserta Pepera 1969

Proses integrasi tanah papua dan segala isinya ke Negara Kesatuan Republik Indonesia meninggalkan pandangan dan persepsi bertentangan yang sulit terselesaikan. orang Indonesia menyebutnya dengan integrasi kemudian orang papua menyebutnya aneksasi. berdasarkan kajian-kajian ilmiah tentang penggabungan papua ke Indonesia pada tahun 1963 sampai dengan pelaksanaan PEPERA kemudian terakhir melahirkan resolusi PBB No 2504 tentang hasil Pepera, Mrs. Melinda Jankie, seorang pengacara hukum Internasional tentang West Papua dan Penentuan Nasib Sendiri dalam Hukum Internasional membenarkan adanya proses pelaksaanaan Penentuan Nasib Sendiri (Act Of Free Choise) atau Pepera versi Indonesia jelas-jelas melanggar persyaratan prosedural hukum Internasional.
Klaim teritorial Indonesia tidak menjustifikasi secara hukum kedaulatan Indonesia atas West Papua. kehadiran Indonesia di West Papua adalah illegal, dan ilegalitas ini menjadi basis bagi konflik berkepanjangan di West Papua.
Apa yang dimaksud persyaratan prosedural?
Dalam kajian Mrs. Melinda Jankie menjelaskan tentang persyaratan prosedural sebagai berikut :
Persyaratan prosedural untuk penentuan nasib sendiri diatur oleh Majelis Umum melalui intepretasi Pasal 73 Piagam PBB. Pasal 73e menyatakan bahwa kekuasaan administrasi memiliki kewajiban untuk menyerahkan kepada Sekretaris Jenderal informasi statistik atau teknis lainnya terkait persyaratan sosial, ekonomi, pendidikan dalam teritori tak berpemerintahan sendiri.
Dalam kasus West Papua, pasal 73 menempatkan kewajiban kepada Belanda dari tahun 1945 dan kepada Indonesia tahun 1963, ketika Indonesia mengambil alih kekuasaan administratif.
Sesuai Resolusi 567 (VI) Majelis Umum PBB, 2 (dua) prinsip yang dianggap penting bagi pemenuhan kewajiban itu adalah:
1.        kemajuan politik
Kemajuan politik harus memadai agar membuat masyarakat mampu memutuskan masa depan nasib teritori mereka dengan pengetahuan yang dimiliki.
2.        pendapat populasi.
Pendapat mereka harus dapat diekspresikan dengan bebas melalui proses yang informatif dan demokratis menyangkut perubahan status yang mereka kehendaki.
Persyaratan ini disebutkan kembali dalam Resolusi Majelis Umum 648 (VII) dan 742 (VIII). Resolusi Majelis Umum 637 (VII) menegaskan bahwa kehendak masyarakat bersangkutan yang diekspresikan bebas harus ditentukan melalui plebisit atau cara-cara demokratis lainnya, khususnya dibawah dukungan PBB.
Resolusi Majelis Umum 1541 (XV) menegaskan bahwa pasca 1960: Teritori tak berpemerintahan sendiri dapat dinyatakan memenuhi semua unsur pemerintahan sendiri ketika:
1.        Berdiri sebagai sebuah negara berdaulat merdeka;
2.        Asosiasi bebas dengan sebuah negara merdeka; atau
3.        Integrasi dengan sebuah negara merdeka.
Indonesia tidak mendapatkan kedaulatannya atas West Papua berdasaran New York Agreement atau Piagam Pemindahan Kedaulatan.
PEPERA yang dilakukan 1969 yang terbukti tidak sah karena tidak memenuhi syarat-syarat prosedural sesuai prinsip-prinsip dan resolusi PBB terhadap wilayah tak berpemerintahan sendiri, juga tidak sah dijadikan klaim kedaulatan Indonesia atas West Papua, karena:
1.       Rakyat West Papua tidak dimintai pendapat di tahun 1962 ketika New York Agreement  diputuskan.
2.    Tidak dimintai pendapat ketika pilihan PEPERA 1969 ditetapkan
3.     Tidak dimintai pendapat terkait pilihan-pilihan apa yang harus ditetapkan sebelum pelaksanaan PEPERA.
4.        Suara musyawarah 1022 orang (4 orang lainnya tidak ambil bagian), kurang dari 0,2% dari populasi Papua, yang dikondisikan setuju untuk integrasi dengan Indonesia, bukanlah suara yang sah untuk menyatakan integrasi yang benar.
Oleh karena itu pengambilaihan West Papua merupakan aneksasi illegal serupa dengan pengambilalihan sementara Indonesia atas Timor Leste di tahun 1975.
Selain itu, juga tidak benar bahwa PBB melegitimasi/mengesahkan keputusan PEPERA. buktinya adalah:
1.        Pasal XXI New York Agreement meminta wakil PBB dan Indonesia melaporkan kepada Sekretaris Jenderal yang pada waktu itu diwajibkan memberi laporan itu ke Majelis Umum PBB terkait pelaksanaan dan hasil PEPERA.
2.        General Konsil PBB menyarankan Sekjend PBB untuk mempresentasikan laporan seutuhnya kepada Majelis Umum dan bukan rangkuman laporan, karena: sah atau pun tidak, ada keraguan yang luas terkait apakah benar kesempatan seutuhnya diberikan terhadap ekspresi kehendak rakyat dalam kasus tersebut dan Sekjend oleh karena itu tidak boleh memberi kesan adanya bukti atau bahan yang dilewati atau disembunyikan.
3.        Resolusi 2504 (XVII) hanya menyatakan bahwa Majelis Umum: Mencatat laporan dari Sekretaris Jenderal dan mengakui dengan apresiasi pemenuhan tugas yang diberikan oleh Sekjend kepada wakil-wakilnya atas dasar New York Agreement 15 Agustus 1962 antara Repiblik Indonesia dengan Kerajaan Belanda terkait West New Guinea (Irian Barat).
4.        Resolusi 2504(XVII) tidak menyebutkan penentuan nasib sendiri West Papua, atau West Papua tak lagi menjadi teritori tak berpemerintahan sendiri. Tak ada resolusi apapun lagi dari Majelis Umum PBB (atau Dewan Keamanan PBB) yang menyetujui PEPERA atau menegaskan bahwa West Papua telah menjalankan dengan bebas hak penentuan nasibnya sendiri.
Berdasarkan fakta-fakta diatas inilah yang selama ini menjadi akar konflik berkepanjangan antara Pemerintah Indonesia dan Rakyat Papua berbeda pandangan yang berujung pada pelanggaran HAM, diskriminasi, pembatasan ruang demokrasi  dan lain-lain sampai dengan sekarang.
Pemerintah Indonesia benar-benar waktu Proses integrasi Papua ke Pangkuan NKRI sudah ikuti sesuai persyaratan prosedural hukum internasional maka sudah saatnya Pemerintah buka diri, jujur, terbuka untuk membuka kembali arsip dokumen hasil PEPERA dan mengumumkan kepada Rakyat Papua untuk meyakinkan bahwa benar-benar kami NKRI sudah melakukanya dengan benar dan sesuai prosedural.
Jika Pemerintah tidak pernah buka diri dan terbuka atas masalah hasil Pepera kepada rakyat papua maka sampai kapanpun papua tanah damai yang selama ini dikumandangkan hanyalah utopis (mimpi).
Penulis : Robby Wasini.

Minggu, 30 April 2017

REFLEKSI SEJARAH ANEKSASI 1 MEI 1963-2017




ANEKSASI VS INTEGRASI 
 WEST PAPUA

 KE DALAM NKRI



 Oleh : Robby Wasini.

 


Sejarah telah mencatat bahwa tanggal 1 mei 1963 adalah peristiwa dimana kongkalikong Belanda, Indonesia, Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) saling memperkokoh telah menyepakati dan menyetujui memberi kemudahan kepada bangsa Indonesia untuk menganeksasi (merampok) kedaulatan bangsa Papua Barat secara paksa. Orang asli Papua Barat yang belum memahami terhadap perjuangan kemerdekaan papua barat tentu akan mengenang 1 mei sebagai tanggal dimana negara Indonesia berhasil merebut kembali wilayah papua barat ke pangkuan ibu pertiwi (integrasi), namun rakyat pribumi papua barat yang pro aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa West Papua meyakini 1 mei sebagai tanggal dimana menerima tamu yang tidak diundang dan pencuri kedaulatan (Aneksasi) teritori west papua. Argumentasi mendasar bangsa Indonesia dan PBB melanggar prosedural mekanisme hukum internasional adalah berdasarkan piagam PBB bab 12 piagam (konstitusi) PBB telah menerima tanggung jawab hukum untuk bertanggung jawab penuh menyelesaikan sengketa teritori west papua. Salah satu jenis wilayah perwalian adalah koloni yang PBB telah memutuskan untuk administrasi berdasarkan pasal 85 dan bab XII dari piagam PBB sesuai dengan pasal 77 bagian 1 ( c) bab XII. Piagam PBB membutuhkan PBB untuk melindungi wilayah kepercayaan dibawah artikel 76, 87, dan 88 sampai wilayah-wilayah telah menjadi angota PBB yang telah disepakati dalam pasal 78 piagam PBB. Meskipun PBB telah memutuskan pada tahun 1963 untuk menarik diri dari papua barat dan memungkinkan Indonesia untuk menduduki koloni, PBB (Dewan Keamanan ) masih diperluhkan untuk latihan artikel 76 (untuk melindungi hak asasi manusia), 87( untuk mendengar petisi), dan 88 (untuk memantau kondisi) di papua barat hingga papua barat menjadi sesama anggota PBB yang telah disepakati dalam pasal 78 piagam PBB. Papua barat menjadi wilayah perwalian PBB ketika Majelis Umum membuat resolusi 1752 (XVII) menyetujui pendudukan PBB dan administrasi Irian Barat sebagai pasal 85 piagam PBB memungkinkan Majelis Umum  dapat dilakukan.
Tahun 1963 PBB dibawah UNTEA telah menyerahkan kekuasaan penuh kepada bangsa Indonesia namun hanya bentuk kekuasaan administrasi, bukan kekuasaan kedaulatan wilayah hingga melaksanakan plebisit Act Of Free Choice atau versi Indonesia adalah Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tahun 1969 sesuai kesepakatan perjanjian New York, sedangkan untuk kedaulatan wilayah masih dibawah kekuasaan dan Kontrol PBB. Artinya bangsa Indonesia merupakan sub komite PBB mempunyai keharusan melaksanakan tanggung jawab administrasi yang diberikan oleh PBB dan melaksanakan sesuai prosedur hukum internasional dari tanggal 1 mei 1963-1969 namun bangsa Indonesia sebelum mendapatkan kekuasaan kedaulatan wilayah sudah melakukan mobilisasi umum dengan kekuatan militer telah menyerang teritori west papua dan sejumlah instrument hukumnya serta menutup rantai demokrasi.
tulisan ini tidak menjelaskan sejarah aneksasi dan integrasi secara mendetail melainkan hanya sebatas penjelasan tentang makna aneksasi dan integrasi dalam pandangan orang papua itu sendiri berdasarkan sejumlah literatur sumber-sumber sejarah yang ada.

1.   ANEKSASI WEST PAPUA KE PANGKUAN NKRI

Mayoritas Rakyat Papua Barat meyakini bahwa peristiwa 1 mei 1963 adalah peristiwa aneksasi (pencaplokan) negara west papua dan awal mula terbukanya gerbang pemusnahan etnis Melanesia hingga sekarang, karena berdasarkan sumber-sumber sejarah yang ada west papua pernah melahirkan embrio negara namun gagal memasukan dan diakui menjadi salah satu bangsa berdaulat di lingkungan internasional hanya karena akibat nafsu kekuasaan kedaulatan oleh Belanda, Indonesia dan Amerika Serikat akhirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) eksekusi resolusi yang keliru. kekeliruan bangsa Indonesia dan PBB adalah karena sama-sama didirikan dalam tahun yang sama, yaitu tahun 1945 maka dalam memutuskan sengketa west papua tentu diperhadapkan pada dua situasi kepentingan pada masa sesudah perang dunia ke II yaitu Indonesia mempunyai motifasi anti kolonialisme dan nafsu kekuasaan kedaulatan sementara PBB mempunyai motifasi anti perang dan nafsu perdamaian dunia maka yang terjadi adalah bukanya menyelamatkan kepentingan dan nasib bangsa west papua melainkan menyelamatkan kepentingan bangsa Indonesia. Rakyat papua barat yang memaknai aneksasi mempunyai landasan sejarah yang dapat mengetahui, memahami kesalahan dan kebenaran secara mendetail sejumlah peristiwa-peristiwa sejarah sengketa status politik west papua. 1 mei  adalah hari aneksasi  kedaulatan bangsa west papua oleh karena itulah rakyat papua Barat terus menyuarakan kepada pihak-pihak yang pernah intervensi untuk dapat meluruskan kembali kesalahan tanggung jawabnya.

2.    INTEGRASI WEST PAPUA KE PANGKUAN IBU PERTIWI (NKRI)

Rakyat Papua Barat yang meyakini peristiwa tanggal 1 mei 1963 sebagai peristiwa integrasi wilayah Papua Barat kedalam pangkuan Ibu Pertiwi (NKRI) sampai dengan sekarang adalah karena bangsa Indonesia mengekalkan sejarah nasional Indonesia hanya sebatas pada peristiwa-peristiwa yang membenarkan kemenangan bangsanya. Sedangkan peristiwa-peristiwa kesalahan bangsanya tidak termuat dalam sejarah dan diajarkan kepada generasi di pendidikan formal maupun non formal di West Papua bahkan daerah lain di Indonesia akibatnya mayoritas rakyat papua memahami bahwa yang diajarkan bangsa Indonesia dalam sejarah nasional Indonesia adalah benar adanya maka tanggal 1 mei mengakui dan memperingati sebagai hari integrasi.
Rakyat papua diperhadapkan pada dua pemahaman makna bersejarah yang lahir, tumbuh, berkembang dan akan hidup terus dari masa ke masa yaitu makna Aneksasi dan makna Integrasi. Aneksasi merupakan pengambilan dengan paksa, penyerobotan, pencaplokan tanah (wilayah) orang (negara) lain untuk disatukan dengan tanah (negara) sendiri. Sedangkan integrasi merupakan pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat atau penyatuan berbagai kelompok budaya dan sosial ke dalam kesatuan wilayah dan pembentukan suatu identitas nasional. Berdasarkan pendekatan kedua makna aneksasi dan integrasi tersebut diatas sangat mempengaruhi pola pikir generasi papua jika diperhadapkan dengan pemahaman tentang peristiwa yang pernah terjadi ditahun 90 an terkait proses penyelesaian sengketa sejarah politik teritori west papua oleh Belanda, Indonesia, Amerika Serikat dan PBB. Menelah sejarah status politik west papua dari beragam sumber sejarah yang ada kita tentu menjumpai banyak peristiwa yang sangat controversial dengan sejumlah keputusan baik secara politik maupun secara hukum.
 
Kronologi

Apr 1961 – NSC (Dewan Keamanan Nasional Amerika) menjalankan kampanye untuk meyakinkan Presiden AS Kennedy untuk mendukung skema NSC untuk mendapatkan     Indonesia  ke     Papua        Barat
Apr 1961 – Belanda ingin menjadikan Papua Barat sebagai wilayah perwalian PBB
Apr    1961–sedikit AS Barat          dewan        Papua
Sep 1961 – ulangi Belanda berharap untuk Papua Barat menjadi wilayah perwalian
Oktober 1961–   kesepakatan      masyarakat         Belanda     perwalian
Feb 1962–Robert        F Kennedy komentar pada situasi
Agustus 1962–Pernyataan  tentang      perjanjian
Sep   1962–Laporan   PBB  untuk          1962
Sep 1962 – Agenda 1962 Majelis Umum, lihat butir akhir
Mei 1963 – Indonesia menjadi administrator yang ditunjuk PBB wilayah
posting 1973 – ringkasan PBB Sejarah Administrasi
-Pemberitahuan-Jika PBB mengganti nama file lagi, ini adalah salinan dari itu ag-059 UNTEA.pdf 

Dari penjelasan singkat diatas dapat kita pahami bahwa persoalan sengketa west papua jika dipahami kesalahan dan kebenaranya secara mendalam tentu kita mempunyai keharusan untuk mencari solusi yang terbaik demi nasib generasi masa depan ras Melanesia yang ada di pasifik papua barat.

Minggu, 23 April 2017

PEMBOHONGAN ORANG ASLI PAPUA BARAT SECARA EKONOMI




P
EMBODOHAN ORANG ASLI PAPUA BARAT SECARA EKONOMI
Sumber : Mama - mama Yali.

Pejabat tinggi Negara Indonesia dengan banggahnya mengkampanyekan proyek besar mereka ke tingkat kawasan maupun internasional dengan jargon ekonomi dan pembangunan di papua barat sudah majuh bahkan anggaran APBN selalu memprioritaskan pembangunan di papua. Kampanye proyek semacam itu tak lain hanya untuk kepentingan NKRI demi menutupi tuntutan manipulasi sejarah integrasi dan penentuan nasib sendiri oleh rakyat papua barat. kenyataan bahwa memang Sejumlah instrument pembangunan ekonomi di papua sangat maju secara cepat di beberapa kota-kota besar di papua barat seperti Jayapura, Biak, Manokwari, Sorong, Timika, Merauke dan kota-kota lain yang belum sempat di sebutkanya. Misalnya banyak ruko-ruko mewah bertaburan sepanjang jalan raya, Mall-Mall, Toko-toko, restoran, rumah makan, hotel, dan berbagai macam merek bengkel service alat-alat teknologi. Rakyat papua begitu cepat menyesuaikan dengan proses pembangunan ekonomi itu dan tanpa memikirkan secara mendalam membeli dan memilikinya demi meningkatkan kebutuhan sehari-harinya. dengan memiliki sejumlah barang itu ia beranggapan bahwa saya yang paling hebat dan paling mampu dibanding orang papua yang lain. bahkan tiap hari orang papua belanja sejumlah merek pakaian baru yang ditawarkan di berbagai toko-toko besar di papua. semuanya itu baik adanya karena diperhadapkan dengan zaman global, namun dibalik semua itu ada semacam pembohongan dan pembodohan sistematis yang di mainkan oleh bangsa Indonesia terhadap orang asli papua barat untuk menuju marginalisasi orang pribumi sehingga orang pribumi suatu waktu merasa terpojokan lalu protes tentu mereka akan mengstikma atau mencap orang papua sebagai orang miskin, bodoh, tidak mampu bersaing, pemalas kerja dan sebagainya. sebenarnya gurunya itu siapa? salah satu contoh realita yang sederhana adalah pakaian yang tiap hari orang papua pakai bahkan dalam sehari biasa ganti dua hingga tiga kali. pejabat asli papua pun bangga dengan hasil kerapian pakaian dinasya lalu toki dadah, wah saya ini sudah pejabat satu-satunya yang harus dihargai. semua itu baik, namun apakah pernah sadarkan diri kalau pakaian yang digunakan adalah hasil karya ciptaan orang asli papua atau orang lain? Apakah pejabat orang asli papua pernah perdayakan orang asli papua menjadi penjahit atau pemproduk pakaian? kita sebagai orang papua tahu dan selalu menyaksikan seketika kita singgah di rumah makan, restoran, toko-toko, supermarket, mall,  angkutan umum seperti taxi dan lain-lain yang pastinya karyawan tentu orang luar. Orang luar, yakni orang jawa, bugis, makasar dan sebagainya yang datang ke papua mempunyai motif hanya mencari kekayaan untuk memperkaya diri sendiri. mereka pun tidak memiliki kesadaran untuk perdayakan orang pribumi menjadi subjek produsen namun secara sadar sengaja membiarkan orang pribumi menjadi objek konsumen belaka, dan bukan datang untuk memperdayakan rakyat papua menjadi produk atau subyek utama ekonomi. Rakyat papua patut menyadari bahwa apa yang di praktekan oleh orang pendatang di tanah papua barat bukanlah alami melainkan program sistematis demi menguasai perekonomian di tanahnya orang papua. dengan hadirnya otonomi khusus dengan slogan bahwa orang asli papua harus menjadi tuan di negeri sendiri maka orang asli papua beranggapan bahwa untuk menjadi tuan di negeri sendiri harus menjadi pegawai negeri sipil, gubernur, DPR, Bupati dan sebagainya dengan demikian rakyat papua pada umumnya berbondong-bondong masuk dalam lingkaran birokrasi, pengurus partai, serta berkecimpung di dunia politik praktis. Pada hal menjadi tuan di negeri sendiri merupakan tanpa kehadiran proyek otonomi khusus otomatis orang papua sudah menjadi tuan di negeri sendiri.
bukti nyata otonomi khusus adalah mama-mama papua dapat berjualan di samping jalan raya, depan toko-toko dan mall-mall. Jika orang luar papua sungguh-sungguh membangun orang papua maka tidak mungkin sejumlah toko-toko, mall-mall, ruko mewah yang ada dalam kota-kota besar di tanah papua tentu dikelolah oleh orang asli papua namun realitanya tidak sedemikian maka orang papua patut menyadari akan realitas ini bahwa dibalik semua itu ada motif lain, yaitu hanya untuk memarginalisasi orang pribumi dan orang luar leluasa mengontrol perekonomian di papua. Jika kita orang papua beranggapan bahwa kondisi tersebut wajar-wajar saja maka percayalah bahwa lambat laun orang asli akan terpojokan sehingga menjadi penonton diatas tanahnya sendiri.
Melihat realitas diatas maka rakyat papua mempunyai keharusan untuk merefleksi diri dan mempunyai komitmen untuk mencari solusi apakah kondisi tersebut dibiarkan hingga anak cucu kita pun dapat merasakan yang kita rasakan saat ini atau cukup kita yang ada saat ini yang mengalaminya dan memutuskan rantai kebodohanya dari sekarang. pilihan ada pada diri orang asli papua masing-masing.

Penulis : Robby Y. Wasini



Jumat, 14 April 2017

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PEGUNUNGAN BINTANG BELUM MEMBANGUN ASRAMA PUTRI, MAHASISWI DI TERLANTARKAN




PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PEGUNUNGAN BINTANG
 BELUM MEMBANGUN ASRAMA PUTRI, MAHASISWI DI TERLANTARKAN


Pemerintah Daerah Kabupaten Pegunungan Bintang di bawah masa pemerintahan Bapak Welington Wenda telah meletakan dasar pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) dengan membangun asrama di beberapa daerah di papua seperti, di kota Jayapura, Kota Manokwari, Kota Merauke dan kota lain sebagai pusat studi putra-putri generasi penerus pembangunan di Kabupaten Pegunungan Bintang. Latar belakang yang mendasari pemikiran Bapak Welington Wenda memprioritaskan bangun asrama saat menjabat sebagai Bupati Kabupaten Pegunungan Bintang dari masa karateker hingga definitif adalah
Ibu Kota Kab. Pegunungan Bintang (Oksibil)
melihat kondisi Sumber Daya Manusia (SDM) di negeri Ok Kabupaten Pegunungan Bintang masih minim, dan juga alasan lainya adalah perlombahan catur perpolitikan diantara kabupaten pemekaran baru dari kabupaten induk Kabupaten Jayawijaya di Pegunungan Tengah yang saling bersaing membangun ketertinggalan Sumber Daya Manusia (SDM). patut mengapresiasi kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Pegunungan Bintang karena Kontribusi masa pemerintahan Bapak Welington Wenda terhadap pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) terutama asrama mahasiswa untuk menampung seluruh  mahasiswa dari 34 distrik untuk mempersiapkan diri menjadi kader penerus pembangunan sudah telah di upayakan dan disiapkan, salah satunya adalah Asrama Putra Mahasiswa Pelajar Kabupaten Pegunungan Bintang di Kota Studi Jayapura.
Namun sayangnya, Pemerintah Daerah masa kepemimpinan Bapak Welington Wenda hanya lebih fokus memprioritaskan membangun Asrama Putra dan belum begitu fokus memikirkan tempat (asrama) yang memiliki kapasitas untuk merangkul mahasiswi dari 34 distrik yang belajar di berbagai kota studi baik di papua maupun  daerah lain di Indonesia. di Kota Jayapura memang sudah ada satu asrama yang dibangun dan sudah terdaftar dalam Dipa Pemerintah Daerah namun tidak memenuhi kapasitas untuk menampung seluruh mahasiswi dari 34 distrik karena wadah tersebut hanya rumah kontrakan yang mempunyai kamar tidur tidak sampai 10 keatas, bahkan dalam menunjang sarana-prasarana yang rusak seringkali putri-putri sendiri yang berusaha hingga melengkapinya. sementara pemerintah selalu menuntut bahwa tugas utama mahasiswa hanya belajar tetapi realitanya selalu berbalik arah.  masa kepemimpinan era Pemerintahan Bapak Welington Wenda sudah berakhir sebelum merampung semua usaha dan niatnya untuk mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) baik bangunan fisik, pasilitas penunjang dan sebagainya sudah bergeser kekuasaan  peralihan kepemimpinan dari pemerintahan Bapak Welington Wenda dengan harapan konsep baik yang belum terampung dapat dilanjutkan oleh  masa kepemimpinan pemerintahan yang baru yaitu masa kepemimpinan  Bapak Bupati Kostan Oktemka.
 Sebagai anak asli daerah, Bapak Bupati Kostan Oktemka memiliki niat besar dan berkomitmen untuk  mendorong Sumber Daya Manusia (SDM) negeri ok Kabupaten Pegunungan Bintang dapat lebih meningkat kualitas mahasiswa pelajar generasi penerus pembangunan dari pemerintahan sebelumnya maka, dalam akhir tahun 2016 bapak mendatangi beberapa Asrama Putra di Kota Studi Jayapura dan semua keluhan kebutuhan penghuni sudah tersampaikan termasuk membangun Asrama Putri yang baru dan berkapasitas untuk merangkul seluruh mahasiswi dari 34 distrik. Kesulitanya adalah apakah dalam masa pemerintahan Bapak Bupati Kostan Oktemka dapat mewujudkan keluhan Mahasiswi Pelajar Kabupaten Pegunugan Bintang ataukah nanti pemerintahan periode berikutnya. semuanya tergantung dari bagaimana komitmen pemerintah daerah.

Dari penjelasan diatas  kita dapat meninjau dari  kesetaraan gender maka sadar entah tidak sadar kita dapat menciptakan dan mempraktekan ketimpangan gender yang sangat luar biasa dan menginjak-injak martabat perempuan negeri ok Kabupaten Pegunungan Bintang selama 14 tahun berjalanya pemerintahan. ironis memang karena praktek semacam itu  sangat kontroversial dengan Emansipasi Gerakan Kaum Perempuan dalam Deklarasi Resolusi Badan Ekonomi dan Sosial perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1975 tentang Women In Development (WID), serta konfrensi PBB tahun 2000 tentang “The Millenium Development Goals” (MDGS) yang mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai cara efektif untuk memerangi kemiskinan, kelaparan, dan penyakit serta menstimulasi pembangunan yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan.
Semoga kita semua anak asli Negeri Ok Kabupaten Pegunungan Bintang memiliki kesadaran akan pentingya kesetaraan gender agar sama-sama bergandengan tangan dan berkomitmen untuk melangkah bersama menuju emansipasi.

Yepmum, Telepe, Lapmum, Asbe, Yelako, Ubrukane (YETELAS)…..